Monumen Pers Indonesia di Solo |
Peringatan hari Pers Nasional yang
diperingati tiap 09 Februari merupakan sebuah refleksi tentang lahirnya Pers
didunia dan di tanah air kita.Tentang
awal mula dimulainya dunia persuratkabaran di tanah air kita ini, Dr. De Haan
dalam bukunya, “Oud Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas
bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar.
Dikatakannya, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala
bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Berkala yang memuat
berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan
Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah
itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada
tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai
surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.
Sejak abad 17 dunia pers di Eropa memang sudah mulai dirintis.
Sekalipun masih sangat sederhana, baik penampilan maupun mutu pemberitaannya,
surat kabar dan majalah sudah merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat di masa
itu. Bahkan, para pengusaha di masa itu telah meramalkan bahwa dunia pers di
masa mendatang merupakan lahan bisnis yang menjanjikan. Oleh karena itu, tidak
heran apabila para pengusaha persuratkabaran serta para kuli tinta asal Belanda
sejak masa awal pemerintahan VOC, sudah berani membuka usaha dalam bidang
penerbitan berkala dan surat kabar di Batavia. Kendati demikian, tujuan mereka bukan cuma sekadar untuk
memperoleh keuntungan uang. Namun, mereka telah menyadari bahwa media masa di
samping sebagai alat penyampai berita kepada para pembacanya dan menambah
pengetahuan, juga punya peran penting dalam menyuarakan isi hati pemerintah,
kelompok tertentu, dan rakyat pada umumnya. Apalagi, orang Belanda yang selalu
mengutamakan betapa pentingnya arti dokumentasi, segala hal ihwal dan kabar berita
yang terjadi di negeri leluhurnya maupun di negeri jajahannya, selalu disimpan
untuk berbagai keperluan. Dengan
kata lain media masa di masa itu telah dipandang sebagai alat pencatat atau
pendokumentasian segala peristiwa yang terjadi di negeri kita yang amat perlu
diketahui oleh pemerintah pusat di Nederland maupun di Nederlandsch Indie serta
orang-orang Belanda pada umumnya. Dan apabila kita membuka kembali arsip
majalah dan persuratkabaran yang terbit di Indonesia antara awal abad 20 sampai
masuknya Tentara Jepang, bisa kita diketahui bahwa betapa cermatnya orang
Belanda dalam pendokumentasian ini.
Dalam majalah Indie, Nedelandch Indie Oud en Nieuw, Kromo
Blanda, Djawa, berbagai Verslagen (Laporan) dan masih banyak lagi, telah memuat
aneka berita dari mulai politik, ekonomi, sosial, sejarah, kebudayaan, seni
tradisional (musik, seni rupa, sastra, bangunan, percandian, dan lain-lain)
serta seribu satu macam peristiwa penting lainnya yang terjadi di negeri kita. Sampai akhir abad ke-19, koran atau berkala yang terbit di
Batavia hanya memakai bahasa Belanda. Dan para pembacanya tentu saja masyarakat
yang mengerti bahasa tersebut. Karena surat kabar di masa itu diatur oleh pihak
Binnenland Bestuur (penguasa dalam negeri), kabar beritanya boleh dikata kurang
seru dan “kering”. Yang diberitakan cuma hal-hal yang biasa dan ringan, dari
aktivitas pemerintah yang monoton, kehidupan para raja, dan sultan di Jawa,
sampai berita ekonomi dan kriminal. Namun memasuki abad 20, tepatnya di tahun 1903, koran mulai
menghangat. Masalahnya soal politik dan perbedaan paham antara pemerintah dan
masyarakat mulai diberitakan. Parada Harahap, tokoh pers terkemuka, dalam
bukunya “Kedudukan Pers Dalam Masjarakat” (1951) menulis, bahwa zaman menghangatnya
koran ini, akibat dari adanya dicentralisatie wetgeving (aturan yang
dipusatkan). Akibatnya beberapa kota besar di kawasan Hindia Belanda menjadi
kota yang berpemerintahan otonom sehingga ada para petinggi pemerintah, yang
dijamin oleh hak onschenbaarheid (tidak bisa dituntut), berani mengkritik dan
mengoreksi kebijakan atasannya. Kritik
semacam itu biasanya dilontarkan pada sidang-sidang umum yang diselenggarakan
oleh pemerintah pusat atau daerah. Kritik dan koreksi ini kemudian dimuat di
berbagai surat kabar dalam ruangan Verslaag (Laporan) agar diketahui
masyarakat. Berita-berita Verslaag ini tentu saja menjadi “santapan empuk” bagi
para wartawan. Berita itu kemudian telah mereka bumbui dan didramatisasi
sedemikian rupa sehingga jadilah suatu berita sensasi yang menggegerkan. Namun,
cara membumbui berita Verslaag semacam ini, lama-kelamaan menjadi hal biasa.
Bahkan, cara-cara demikian akhirnya disukai oleh para pengelolanya karena bisa
mendatangkan keuntungan dan berita sensasi memang disukai pembacanya. Para petinggi pemerintah yang kena kritik juga tidak merasa
jatuh martabatnya. Bahkan, ada yang mengubah sikapnya dan membuat kebijaksanaan
baru yang menguntungkan penduduk. Keberanian menyatakan saran dan kritik ini
akhirnya menular ke masyarakat. Tidak sedikit koran yang menyajikan ruangan
surat pembaca yang menampung “curhat” tentang berbagai hal dari para
pembacanya. Bahkan, setelah dibentuknya Volksraad (DPR buatan Belanda) pada
tahun 1916, kritik yang menyerempet soal politik mulai marak.
Dunia pers semakin menghangat ketika terbitnya “Medan Prijaji”
pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi.
Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa kita
terjun dalam dunia pers yang berbau politik. Pemerintah Belanda menyebutnya
Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo
yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar adalah alat
penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Dia boleh dikata merupakan
bangsa kita yang memelopori kebebasan Pers kaum pribumi. Sikapnya ini telah memengaruhi surat kabar bangsa pribumi yang
terbit sesudah itu. Hal ini terbukti dari keberanian dia menulis kalimat yang
tertera di bawah judul koran tersebut, Orgaan bagi bangsa jang terperintah di
Hindia Olanda tempat membuka suaranja. Kata terperintah di atas konon telah
membuka mata masyarakat, bahwa bangsa pribumi adalah bangsa yang dijajah. Boleh
jadi Tuan Tirto terinspirasi oleh kebebasan berbicara para pembesar pemerintah
tersebut di atas. Rupanya dia berpendapat, bahwa yang bebas buka suara bukan
beliau-beliau saja, namun juga rakyat jelata alias kaum pribumi. Hadirnya Medan Prujaji telah disambut hangat oleh bangsa kita,
terutama kaum pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat.
Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah
menerbitkan harian Oetoesan Hindia. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan
korannya yang namanya cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala. Suwardi
Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran dengan nama
yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara
itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar
Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula
telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926.
Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar
Indonesia.
Saat ini, sudah ribuan harian baik
dalam bentuk cetak maupun elektronik (online)
yang muncul di Indonesia trkhusus disekitar kita (Prov. Sulawesi Tenggara). Banyaknya
media ini mestinya berbanding dengan banyaknya informasi obyektif yang kita
inginkan. Tapi saat ini, terkadang kenyataannya lain. Media-media saat ini
terkadang memberitakan sesuatu hanya pada hal-hal yang mereka anggap tidak
merugikan satu atau beberapa pihak termasuk medianya sendiri. Padahal mestinya,
pemberitaan yang dilakukan haruslah benar-benar obyektif tanpa melibatkan
kepentingan didalamnya. Inilah salah satu faktor yang membuat kita terkadang
menjadi dari akan berita-berita yang termuat dalam media. Sekalipun memang
benar bahwa berita yang dimunculkan adalah terkadanag hanya bersumber dari satu
sudut pandang yang dapat membuat pembaca atau konsumen tertarik dengan
beritanya tapi minimal tidak apa yang diberitakan haruslah benar-benar tidak
melibatkan kepentingan (obyektif). Harapan kita bersama, semoga dimomentum peringatan
hari Pers Nasional ini, bisa dijadikan sebagai refleksi dan renungan tentang
beratnya perjuangan Pers kita saat awal-awal dilahirkan serta saat media masih
menjadi milik orang-orang yang punya kepentingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar